Santet Sanak Kadang Part 3

SUARITOTO Entah sudah berapa banyak orang yang membantu yang akhirnya berakhir dengan meregangkan nyawa. 

40 hari pasca kematian Pakde Yoso, seluruh keluarga besar mengalami kepanikan massal karena Pakde Darso menyusul tepat pada 40 hari setelah meninggalnya Pakde Yoso.

Bagaimana tidak panik, Pakde Darso meninggal dalam kondisi telanjang bulat. Seluruh lubang pada tubuhnya mengeluarkan nanah. Padahal, malamnya beliau baru saja pulang dari rumahku, dan bertanya kepada papaku, tentang teka-teki hal aneh yang menimpa seluruh keluarga besar kami. Dan ternyata, keingintahuannya berujung kematiannya yang tidak wajar.

"Pa, apa nanti keluarga kita nasibnya bakalan sama kaya Mas Darso?," tanya mamaku.

"Aku enggak tau ma, yang penting sekarang, anak-anak kita jaga baik-baik, kita fokus pada keluarga kita saja," ucap papa menenangkan mamaku.

Walau hatinya bergejolak ketakutan, tapi ia harus tetap tenang. Atas saran temannya, papaku pergi menenangkan dirinya ke salah satu pondok pesantren terbesar dan tertua di Jawa Timur. Karena sudah ada 2 kematian dalam jarak dekat, dan mandeknya beberapa usaha papa, ditambah mendadak ada ketegangan antara papaku dan keluarga besar mama.

Sebagai anak laki-laki tertua aku tahu papaku memikul beban yang teramat berat. Makanya ketika beliau memutuskan untuk menenangkan diri, kami pun mendukungnya dan aku sebagai anak sulung, sang pembawa sial menurut keluarga besar papaku, harus bisa menjaga mama dan adik-adikku.

Siang itu, telepon rumahku berdering.

BACA JUGA : Gugur Bunga Bundaran Teknik UGM Part 1

"Halo, " ucapku.

"Ini papa, kamu hati-hati di rumah, jaga mama dan adik-adik kamu, papa percaya kalo kamu bisa, ingat, jangan gegabah, jangan emosi, minggu depan papa pulang, jangan bilang mama kalo papa telepon kamu," kata papa.

"Iya," jawabku.

"Telepon dari siapa?," tanya mama.

"Salah sambung ma," jawabku asal.

"Oh yaudah, mama lagi masak nasi, tolong nanti kamu cek, mama mau solat dulu," kata mama.

"Iya ma," jawabku.

Aku pun berjalan ke dapur, memikirkan ucapan papa membuatku pusing. Sesampainya di dapur, aku mengecek nasi yang sudah ditanak oleh mama tapi aku kaget setengah mati, karena ada rambut di nasi itu dan ketika aku menariknya, rambut itu panjang sekali seolah-olah tidak ada habisnya.

"Rambut mama tidak sepanjang ini, lalu ini rambut siapa?," tanyaku dalam hati.

Aku masih sibuk menarik rambut itu karena aku menariknya dan langsung aku gulung, tanpa aku sadari ternyata sudah nyaris membentuk bola.

"Astaghfirullah hal adzim," ucap mama mengagetkanku.

"Itu apa?, rambut siapa itu?," tanya mama padaku.

"Enggak tau ma, tadi ada di dalam nasi yang mama masak, terus aku tarik, ternyata panjang banget ma," ucapku.

"Matiin kompornya, kita pulang ke rumah si mbah dulu sampai papa kamu pulang," kata mama.

"Terus sekolahku gimana ma?," tanyaku.

"Berangkat dari rumah si mbah, nanti bareng mama berangkat naik bis," kata mama.

BACA JUGA : Pendakian Gunung Lawu Part 1

Kamipun mempersiapkan apa saja yang akan kami bawa saat itu. Seragam sekolah, buku-buku pelajaran, dan sepatu yang paling utama. Setelah semua telah kami persiapkan, kami pun bergegas untuk pergi ke rumah si mbah.

Dari kejauhan aku bisa melihat ada sepasang kaki yang mengelilingi rumahku, bahkan rumahku hanya sebatas lututnya. Tapi aku hanya diam, karena aku tidak ingin menambah kepanikan mama.

Aku terus melihat ke atas, karena aku ingin melihat seluruh badan dan mukanya tapi nihil, aku gagal melihatnya. Jika dia jahat, kenapa dari tadi aku melihatnya menelan segala bentuk pocong dan kuntilanak?. Bahkan genderuwo yang konon kabarnya kuat pun, tak berani mendekat aneh bukan, aku tidak tau dia berada disisi mana yang aku tau dia memakan seluruh wujud serangan, yang berusaha menyerang kami.

Yang terakhir 'ku lihat, ia menelan banaspati bulat-bulat, dan semua genderuwo tunduk padanya. Ini aneh, tapi apa di dalam perjalanan, aku hanya terdiam, karena kepalaku sakit dan aku merasa mual karena harus melihat seluruh kejadian barusan.

Aku masih bergidik ngeri jika membayangkan itu semua. Sesampainya di rumah si mbah, aku melihat mbah Kung yang sibuk membersihkan gamannya.

"Untuk apa ini mbah?," tanyaku.

"Dibersihin aja, siapa tau nanti digunakan,  kamu mau yang mana?," tanya si mbah padaku.

Mataku melihat beberapa gaman si mbah, ada yang seperti trisula, ada keris luk 7 dengan kepala pegangannya berbentuk kepala naga, ada juga keris kecil, keong buntet, tapi mataku tertuju pada arca mungil dan sebuah belati kecil emas dengan ukiran berbentuk naga dan tulisan asma Allah.

BACA JUGA : Misteri Hutan Karet Part 1

"Kalo yang ini apa mbah?," tanyaku.

"Itu golek dan cundrik, cundriknya nanti mbah kasih kalo kamu udah gede, kalo goleknya, nanti klo kamu mau merantau," kata Mbah Kung padaku.

"Emangnya gak bisa dibawa sekarang mbah?," tanyaku.

"Belum waktunya, kalo udah waktunya, jangankan ini, semua juga bisa kaum bawa," kata Mbah Kung.

Aku masih tidak paham, kenapa Mbah Kung membersihkan gamannya menggunakan uli atau gemblong, baru setelahnya dibersihkan dengan air bunga dan dijemur




Posting Komentar

0 Komentar