Santet Sanak Kadang Part 4

SUARITOTO

"Mbah, yang ini kok bau darah ya?," tanyaku sembari jemariku menunjuk salah satu pusaka tanpa warangka, dengan luka 13 terukir naga, dengan pegangan pada keris itu membentuk seperti kepala ular.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Mbah Kakung justru tertawa.

"Kamu enggak makan?," tanya mama.

"Iya ma, bentar lagi, kata Mbah Putri lagi dimasakin nasi jagung sama sambel kelapa," ucapku.

"Yasudah kalo gitu sekarang mandi, terus belajar, besok pagi kan harus berangkat pagi, soalnya naik bis," kata mama.

"Iya ma," jawabku.

Setelah selesai semuanya, akupun mulai belajar walau harus ku akui, bahwa rumah simbah memang tidak seperti rumahku. Rumah simbah hanya berlantai semen dan belum menggunakan lampu, bahkan kipas angin pun tidak ada, tapi aku nyaman sekali berada di sini.

Tak lama kemudian, ketika aku hendak tidur, aku mendengar sayup-sayup orang berbicara. Aku hanya bisa mendengar bahwa Mbah Kakung bilang bahwa yang membuat gara-gara adalah Santet Sanak Kadang, di mana santet ini tidak akan berhenti sebelum seluruh keluarga mati.

Lalu, aku mendengar mamaku terisak, mama menangis, karena dari awal mama menikah pun keluarga papa tidak pernah menganggap mama, ditambah lahirnya aku sebagai anak pembawa sial.

Bahkan tidak jarang saudara papa memanggil mama dengan sebutan Kere Munggah Bale. Akhirnya, papa pulang dari pondok pesantren itu, papa pulang bersama temannya.

Tidak lama, papa masuk ke rumah simbah, dan asyik ngobrol dengan Mbah Kakung, mereka berbicara bertiga di ruang tamu. Aku hanya sekilas mendengar pembicaraan mereka tentang irengan, abangan, dan ilmu Calon Arang.

BACA JUGA : Kontrakan Angker Part 1

Kalo tidak salah mereka juga menyinggung tentang haid pertama anak perawan, tapi untuk apa darah haid pertama.

Apa untuk santet?, atau untuk pelet?, ah sudahlah.

Mereka bertiga masih asyik mengobrol, kemudian Mbah Putri dan mama menyusul ke ruang tamu. Tak lama kemudian aku mendengar Mbah Putri berkata.

"Hayooo ngitung gigi," ucap beliau.

Ketahuan juga kalo aku menguping pembicaraan mereka, kemudian teman papa memanggilku.

"Kamu kemarin di rumah ada kejadian apa aja?," tanya Gus Malik teman ayah padaku.

"Ngeliat apa ya Gus maksudnya?,"

"Maksudnya, ada kejadian aneh enggak?, yang bikin kamu sama mama akhirnya pergi ke rumah simbah," ucap Gus Malik.

"Kejadian apa ya om?," tanyaku.

"Apa aja, coba kamu ceritain semuanya," ucap Gus Malik.

Aku melihat mama, meminta persetujuan dari mama, begitu mama mengiyakan aku mulai menceritakan semuanya, mulai dari rambut panjang hingga si pemakan bala' semua aku ceritakan tanpa jeda.

Semua yang ada di ruangan, satu per satu melihatku, aku melihat kekagetan dari air muka mereka. Bagaimana tidak mengagetkan, aku bisa bercerita dengan detail tentang semuanya termasuk jejak kaki macan yang aku dengar di setiap malamku.

"Kamu beneran lihat dia makan banaspati?," tanya papa.

"Iya pa, dia kan tinggi banget, rumah kita aja cuma selutut dia," ucapku.

"Terus gimana caranya kamu bisa lihat dia makan itu semua?," tanya papa.

"Dia kayak mengecil gitu sampai tinggi dia hanya beberapa meter dari atap rumah," jawabku.

"Sudah ketemu beneran apa bohong kamu?," tanya papa sedikit menegaskan.

"Bentuknya tinggi, mungkin kalau jalan sekali melangkah 1 km, terus ada tanduk di kepalanya kayak kerbau, tapi warna badannya enggak hijau kaya buto ijo, kayak kita aja gitu, tapi auranya serem," ucapku.

BACA JUGA : KKN Desa Penari Part 1


Aku melihat papaku hanya terdiam, Simbahku melihatku tak percaya juga semua yang ada disitu seolah tak percaya dengan apa yang aku ceritakan.

"Susah mas, penjaganya milih jaga anakmu," ucap Gus Malik.

"Ya tapi enggak gini caranya," ucap papa.

Memangnya itu apa sih, kenapa mereka khawatir toh aku tidak tau itu apa. Justru aku ngeri, karena ada makhluk yang sanggup menelan itu semua.

Segala bentuk santet dan dedemitan dia telan, jujur itu menyeramkan untukku, mengingat, buto ijo saja tidak senekat itu untuk memakan temannya.

Tiba-tiba tetangga simbah datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh

"Mbah mbah, ada telpon," ucap pak Madi.

"Buat siapa?," tanya simbah.

"Buat nak Alex" kata pak Madi.

Ternyata telepon itu dari Eyang Putri untuk papa, papa diminta ke rumah Eyang. Papa dan Gus Malik berangkat ke rumah Eyang malam itu juga karena kata eyang, ada hal yang penting.

Sungguh, aku tidak peduli sama sekali apa pun yang terjadi dengan keluarga papa, harusnya tidak menjadi tanggungjawab papa, merepotkan saja mereka semua. Aku memang sebenci itu dengan keluarga papa bahkan sampai sekarang aku masih belum bisa memaafkan mereka semua karena mereka terlalu egois dan terlalu jahat dan keluargaku dibikin porak poranda oleh kebejatan mereka semua.

BACA JUGA : Hantu Universitas Indonesia

Keesokan harinya papa pulang dengan muka masam dan lesu, hari ini simbah sengaja memintaku untuk tidak berangkat ke sekolah, bahkan mama juga tidak pergi ke kantornya, aku rasa akan ada hal penting yang terjadi.

Ternyata, seluruh keluarga papa menyerahkan urusan santet ini ke papa.

Damn!

Aku rasa mereka sudah tidak waras, mereka hanya akan menjadi beban dan menambah drama di dalam kehidupan kami. Tapi aku bisa apa, Eyang sendiri yang meminta dan aku yakin, pasti papa tidak akan bisa menolak.

Benar saja, drama pun dimulai, ternyata papa diminta untuk mengadakan pengajian akbar, untuk menangkal teror santet itu. Tapi aku bisa apa, kalaupun aku yang bicara, pasti enggak ada yang akan mempercayainya. 

Segala persiapan menjelang pengajian akbar pun dimulai, aku baru tau bahwa papa punya kenalan habaib dan kyai. Wajah-wajah mereka tampak tak asing bagiku, lalu aku melihat teman Mbah Kakung, namanya Mbah Wongso. Akupun menghampiri beliau untuk bertanya kabar, hingga tak lama, mama memanggilku, memintaku untuk menjaga adikku, karena semua orang akan mulai sibuk.

Apalagi Eyang Putri dan rombongannya akan segera datang jadi segala sesuatu harus dipersiapkan. Jujur aku lelah dengan drama, bayangkan saja anak usia 10 tahun sudah terjebak dengan segala macam drama keluarga. Rasanya ingin pindah keluarga saja, apalagi dari dulu eyang Putri lebih peduli kepada adikku dibandingkan aku.

Oh, itu belum seberapa dibandingkan perundungan yang harus aku telan dan aku dapatkan dari keluarga besar papa. Buat kalian yang mengalami perundungan, boleh kok kalian bilang kalau kalian lelah terima kasih kalian telah kuat mengalami fase kalian.

Eyang Putri, dan seluruh rombongannya sudah pasti akan menyita perhatian karena makannya rewel, dan pastinya aku akan menjadi babu mereka. Yaelah, siapa yang minta tolong siapa yang bossy kalau kayak gini.

Akhirnya mereka semua datang, dan tentunya disertai tatapan nyinyir dari semuanya tapi hanya pencitraan ketika sedang di hadapan para habaib dan kyai. Aku tahu, tapi aku memilih bodo amat karena aku tidak ingin menguras emosiku untuk hal sia-sia.

BACA JUGA : Tragedi Paiton

Malamnya, tidak lama setelah acara pengajian entah mengapa terjadi kesurupan massal termasuk saudara-saudara sepupuku pun ikut kesurupan. Jika satu tertolong, maka akan ada lagi begitu seterusnya hingga pada puncaknya, aku tidak tahu bagaimana awalnya, mendadak ada salah seorang dari peserta pengajian muntah darah, padahal ia tidak termasuk yang kesurupan massal, justru ia termasuk yang ikut menangani para korban kesurupan massal.

Satu per satu muntah darah, bahkan salah satu santri jebolan pondok pesantren pun menjadi korban. Ia paling parah mengalami muntah darahnya karena darahnya bercampur daging busuk dan tangan bayi.

"Ma, itu kayak tangan bayi deh," ucapku.

"Hush," ucap mama sambil membekap mulutku agar aku tidak ikut campur, mama hanya tidak ingin mendengar kalimat anak pembawa sial yang tersemat untukku terucap dari mulut keluarga papa.

Dari kejauhan, aku melihat Gus Malik, Kyai Khamim, dan Habaib Farhan berjalan mendekat ke arah kami.

"Kamu hafal ayat kursi?, hafal doa Nabi Yunus?," tanya Gus Malik padaku.

"Hafal Gus, alhamdulillah, ada apa Gus?," tanyaku.

"Coba kamu baca dan kamu tulis," ucap Gus Malik.

"Gundul apa pake harakat Gus?," tanyaku.

"Gundul aja, kalo udah nanti kasih ke saya," ucap Habaib Farhan

"Nggih bib," jawabku

Akupun menulis apa yang mereka minta.




Posting Komentar

0 Komentar