Kontrakan Angker Part 1

SUARITOTO Aku Jason. Umurku baru sepuluh tahun. Kedua orang tuaku sudah lama bercerai. Aku tidak tahu pasti alasan mereka berpisah. Ibu sudah punya suami lagi, sedangkan ayahku masih setia merawatku.

Namun, akhir-akhir ini aku marah kepada ayah lantaran kami mau pindah rumah. Padahal, aku sudah nyaman dengan rumah yang sekarang. Aku nggak mau ninggalin teman-temanku di perumahan ini. 

Alasan ayah pindah, katanya harga sewa rumah ini semakin naik. Ayah nggak sanggup buat bayar sewanya. Mau-nggak mau, aku harus terima kenyataan ini. Berat sekali rasanya meninggalkan rumah ini. Soalnya banyak sekali kenanganku bersama Ibu di sini.

Pagi-pagi sekali ada sebuah truk sudah terparkir di depan rumah. Pasti ayah yang menyewanya untuk mengangkut perabotan ke rumah yang baru. Kami akan pindah ke pinggiran kota, ke rumah kontrakan yang lebih murah.

Selepas magrib, aku dan ayah tiba di rumah kontrakan baru. Rumah itu tampak usang seperti tidak pernah dihuni selama bertahun-tahun. Di beranda ada dua kursi yang terbuat dari kayu. Juga jendela besar bernuansa betawi. 

“Ayah, serius kita mau tinggal di rumah ini?” tanyaku.

“Iya, Nak. Rumah ini harga sewanya murah. Kita akan tinggal di sini untuk setahun ke depan.” Jawab Ayah.

Aku masuk ke dalam rumah itu untuk melihat-lihat. Ternyata di dalamnya tidak seseram yang kubayangkan. Rumah itu sudah ada yang membersihkan. Satu per satu perabotan kami diangkut. Ayah sibuk mengarahkan para pekerja agar hati-hati saat menggotong barang yang mudah pecah. 

BACA JUGA : Kisah Kelam Sadako

Sementara mereka sedang sibuk, kujelajahi setiap ruangan di rumah ini. Perhatianku terpikat dengan sebuah kamar dekat dapur. Kamar itu tidak ubahnya seperti sebuah galeri lukisan. 

Ada banyak lukisan wajah manusia di kamar itu. Sebagian dipajang di dinding, sebagian lagi tergeletak di lantai. Aku tidak tahu milik siapa semua lukisan itu.

Wajah di lukisan pun berbeda-beda. Ada perempuan dan juga lelaki. Tapi, dapat kupastikan kalau sosok dalam lukisan itu adalah orang Indonesia semua. Sebab, mereka menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah.

Setelah puas melihat-lihat lukisan itu, aku hendak kembali ke Ayah. Tapi, tiba-tiba terdengar suara seseorang bersiul. Segera aku menoleh. Kedua mataku menyoroti lukisan-lukisan itu. Aneh sekali, siapa tadi yang bersiul?

Karena takut, buru-buru aku lari keluar kamar. Di ruang tamu, ayah masih sibuk menata perabotan. Aku memberitahunya kalau ada kamar yang penuh dengan lukisan. Dia bilang itu lukisan si pemilik rumah ini dan aku dilarang menyentuhnya. 

“Tadi ada yang bersiul juga, Yah,” kataku. 

“Salah denger kali kamu,” jawab ayah sambil sibuk membenarkan posisi lemari. 

“Aku nggak salah dengar, Yah.”

“Ya... mungkin aja ada burung lewat,” jawab ayah sekenanya. 

“Malam-malam begini mana ada burung, Yah.”

“Jason, daripada kamu ngomongin yang nggak-nggak, lebih baik kamu mandi sana.”

Aku kesal karena ayah tidak menanggapiku dengan serius. Padahal jelas-jelas kudengar ada yang bersiul di kamar itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku pun pergi ke kamar mandi.

BACA JUGA : Pendakian Gunung Gede Part 1

Air di rumah ini sangat segar. Kuguyurkan ke seluruh tubuhku. Selama mandi, aku masih penasaran dengan kamar yang penuh lukisan itu. 

Malam pertama tinggal di rumah baru, aku tidur di kamar yang dekat dengan ruang tamu. Entah kenapa aku nggak bisa tidur. Kunyalakan televisi dan mencari tayangan film warkop DKI. Biasanya film komedi itu tayangnya tengah malam. 

Dan, benar saja, film warkop DKI favoritku sedang tayang. Sesekali aku tertawa melihat tingkah Dono yang kocak. Lama-kelamaan kantuk pun datang. Aku tertidur pulas, sedangkan televisi masih dalam keadaan menyala. 

Tengah malam, tempat tidurku menyembul ke atas seperti ada yang menendangnya dari bawah. Setelah ku periksa, tidak ada apa-apa di kolong ranjang. Aku lalu turun dari tempat tidur untuk menghampiri ayah.

Kamar Ayah ada di paling ujung dekat dengan pintu utama. Jadi aku harus melewati kamar yang penuh dengan lukisan itu untuk sampai ke sana. 

Langkahku terhenti ketika mendengar suara gemuruh orang yang berbicara di kamar misterius itu. Pelan-pelan aku melangkah mendekati pintu dan mengintip dari lubang kunci. Dari lubang kecil itu kulihat penuh orang-orang asing yang sedang mengobrol satu sama lain.

Wajah mereka pucat. Bukan hanya wajahnya, tapi tubuhnya juga terkesan seperti orang mati. Salah satu dari mereka menoleh kepadaku. Buru-buru aku lari ke kamar ayah untuk memberitahunya soal ini.

“Ayah!?” teriakku, tapi aku tidak menemukan ayah. Di mana dia?

Di atas menjanya kutemukan secarik kertas yang berisi sebuah pesan dari Ayah. 

‘Jason, ayah ada urusan mendadak. Jangan keluar rumah selama ayah pergi. Ayah akan segera pulang.’

Setelah membaca pesan dari ayah, tiba-tiba lampu kamar berkedap-kedip. Aku menelan ludah sendiri. Keramaian di kamar sebelah masih terdengar jelas. Bergegas kututup pintu kamar dan mengunci diri di dalam.

BACA JUGA : Hantu Universitas Indonesia

Aku naik ke atas tempat tidur ayah lalu menutup tubuhku dengan selimut. Tak lama berselang, kudengar suara langkah kaki kerumunan orang di ruang tamu. Mereka masih mengobrol satu sama lain. Siapa orang itu-itu?

Wajahku berkeringat. Kedua tanganku bergetar karena takut. Semoga mereka tidak menemukanku di kamar ini. 

Saat aku mencoba untuk tidur kembali, ada yang mengetuk pintu. Aku tidak mau membukakannya sebelum mendengar itu adalah suara ayah. 

“Jason? Kamu di dalam ya, Nak?” hatiku lega saat mendengar suara ayah dari luar.

“Iya, Yah,” timpalku. Aku meloncat dari tempat tidur dan langsung membukakan pintu. 

“Jason? Kamu di dalam ya, Nak?”

Setelah pintu itu kubuka, aku tidak melihat ayah. Tapi, suara ayah masih dapat kudengar. 

“Jason? Kamu di dalam ya, Nak?”

Suara ayah seakan ada di mana-mana. Aku menoleh ke kanan dan di sana puluhan orang asing menatapku sambil tersenyum lebar. Itu senyum yang aneh. Bibir mereka tersungging sampai ke telinga. Aku menjerit lalu mengunci diri di dalam kamar ayah lagi.




Posting Komentar

0 Komentar