Kontrakan Angker Part 7

SUARITOTO Aku Heri. Dari dulu aku tinggal bersama bapakku di rumah ini, sedangkan ibu meninggal saat aku masih kecil. Aku ini seorang pelukis, tapi berbeda dengan pelukis lainnya.

Aku suka sekali melukis orang yang sudah mati. Aku yakin kalau bakat melukis ini kudapatkan dari bapak. Sebab, dia juga seorang pelukis andal.

Bapak juga suka melukis mayat. Koleksi lukisan di kamar itu adalah orang-orang yang sudah bapak bunuh. Mayatnya lalu dia kubur di bawah lantai. Setelah bapak meninggal karena gantung diri, akulah yang melanjutkan bapak menjadi seorang pelukis mayat. 

Mula-mula aku sering mencuri mayat orang yang baru meninggal. Kudandani mayat itu agar terlihat rapi, lalu kulukis wajahnya. Sayangnya, jarang sekali ada orang yang meninggal di kawasan ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk membunuh seperti yang dilakukan bapakku. 

Yang kubunuh tentunya bukan warga sini, tapi orang-orang yang menyewa rumahku. Kubantai mereka semua untuk dijadikan model luksian. Dan, kalau rumahku tidak ada yang menyewa, biasanya aku membunuh padangang keliling yang melintas di depan rumah. Kubujuk mereka untuk masuk rumah lalu kucekik lehernya dari belakang dengan kabel.

Tapi kali ini ada yang tidak biasa. Anak yang sedang kusekap di ruang bawah tanah itu mirip sekali dengan anakku yang sudah meninggal. Aku tidak tega kalau harus membunuhnya. Dia akan kuangkat sebagai anak.

Sejak pertama kali melihat anak itu, aku langsung bertekad untuk membunuh orang tuanya. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan agar aku bisa memiliki anaknya.

Sebenarnya, dulu aku tinggal jauh dari kota ini. Aku pernah bekerja sebagai tukang pos dan punya kehidupan yang sempurna. Aku punya istri cantik juga anak yang pintar. Namun, semua itu berubah, saat satu per satu keluargaku meninggal.

Istriku mati kecelakaan di tol Cipali, sedangkan anakku terkena kanker. Sejak saat itulah aku kembali ke rumah bapak dan tinggal bersamanya. 

BACA JUGA : Kontrakan Angker Part 1

Setiap bulannya ada saja yang membeli lukisan bapak. Mereka tidak pernah tahu kalau sosok lukisan itu adalah orang-orang yang kami bunuh. Belum ada yang tahu soal pembunuhan ini. Aku lupa berapa jumlah orang yang telah kami bunuh. Sebagian dari mereka kami dikubur di halaman belakang.

Setelah mengambil cat, aku kembali ke ruang bawah tanah. Kasihan anakku ditinggal sendirian. Pasti dia takut melihat jasad tanpa kepala di hadapannya. Sesampainya di ruang bawah tanah, kulihat anakku terkapar tidak sadarkan diri. Ada jasad tanpa kepala berdiri di depan anakku. 

“Bapak jangan nakut-nakutin anakku dong!” bentakku. Aku tahu pasti roh bapakku yang masuk ke dalam jasad itu. 

Seketika jasad itu lunglai dan terkapar begitu saja. Segera kuhampiri anakku. Satu per satu kulepas tali yang mengikat tangan dan kakinya. Lalu kubaringkan dia di atas kardus. Aku masih bisa merasakan denyut nadinya. Untung saja dia masih hidup. 

Oh, ya, hampir saja lupa. Aku masih punya kerjaan. Mayat-mayat ini harus dikubur. Takutnya nanti ketahuan sama warga. Segera kuambil tali tampar di sudut ruangan lalu mengikatkannya pada jasad itu. Kutarik pelan-pelan jasadnya dari atas permukaan. Lalu kuseret ke halaman belakang. 

“Di mana ya?” gumamku sambil menggaruk-garuk kepala.

Aku lupa lahan sebelah mana yang belum ada mayatnya. Halaman belakang rumahku memang cukup luas. Tapi, seingatku lahan ini sudah terisi penuh oleh mayat.

Daripada bingung, kuraih cangkul lalu menggali tanah di sudut pagar. Namun, cangkulku menghantam benda keras dan ternyata lahan itu sudah diisi mayat. Aku pun berdecak kesal, lalu menimbun kembali mayat tersebut. 

Kuseret jasad tanpa kepala ke sudut sebelah kanan, tepatnya di bawah pohon pisang. Semoga saja belum ada mayat yang dikubur di sini. Kuhantamkan kembali cangkulku. Sampai kedalaman satu meter lahan itu masih bersih, belum ada mayatnya. Aku menyeka keringat di dahi. 

Kemudian kumasukkan mayat lelaki itu ke dalam lubang beserta kepalanya. Aku juga mengambil dua mayat lainnya yang tak lain adalah kedua orang tua Jason. Aku mengubur mereka dalam satu lubang. Di atas permukaannya, kutimbun dengan rerumputan.

Masih ada satu masalah lagi. Mobil si lelaki yang kupenggal kepalanya masih terparkir di depan rumah. Aku bingung harus kuapakan mobil itu. Ah, nanti saja biar kupikirkan besok. Terpenting malam ini aku harus membersihkan bercak yang berceceran darah di rumahku. 

BACA JUGA : Pendakian Gunung Gede Part 1

Keesokan paginya ada seseorang yang mengetuk pintu. Siapa pagi-pagi begini ganggu orang tidur? Dengan kesal kubuka pintu itu. Tampaklah dua orang lelaki di hadapanku. Salah satu dari mereka menyapaku sambil tersenyum ramah. 

“Dengan Pak Heri?”

“Iya saya sendiri, ada apa ya?” tanyaku balik. 

“Kami mau beli lukisan bapak. Saya dengar bapak adalah pelukis hebat di kawasan ini.”

“Oh, ya, silakan masuk,” aku mempersilakan mereka masuk.

Mereka berdua pun masuk sambil melihat-lihat rumahku. 

“Lukisannya di kamar ini, Pak,” kataku sambil membuka pintu kamar. 

Mereka masuk ke galeriku. Wajah mereka tampak terkagum-kagum melihat koleksi lukisanku. Dan tiba-tiba saja mereka menginjak keramik yang belum sempat kusemen lagi. 

“Wah keramiknya rusak ya, Pak?” tanya salah satu dari mereka.

“Iya, itu belum sempat aku pebaiki, Pak. Mau beli lukisan yang mana ya?”

Mereka tampak bingung.

“Tolong!” 

“Suara siapa itu, Pak?” 

Sial, itu pasti Jason. Suaranya terdengar sayup sampai ke kamar ini.




Posting Komentar

0 Komentar