Kontrakan Angker Part 6

SUARITOTO Pak Heri mencariku sambil bersiul. Aku menahan tangis dan bersembunyi di balik tumpukan kardus. Dia memanggil namaku. Suaranya sangat mengerikan.

Tidak butuh waktu lama bagi Pak Heri untuk menemukan persembunyianku. Dia langsung membuka lakban yang menyegel mulutku. Seketika aku berteriak sekuat tenaga. Dia malah tertawa dan menarik kakiku lalu menyandarkan tubuhku ke dinding. 

"Jason, mulai saat ini kamu jadi anakku ya. Dan, ruangan ini jadi kamar kamu sekarang," kata Pak Heri. 

Aku menolak. Aku pun meludahi wajahnya.

"Aku nggak mau jadi anakmu. Dasar pembunuh!"

Namun, dia tidak marah. Pak Heri malah tertawa terbahak-bahak.

"Saat pertama lihat kamu, aku langsung teringat anakku. Dan, satu-satunya cara biar kamu menjadi anakku adalah membunuh orang tuamu. Maafkan aku ya! Jangan khawatir kamu pasti lebih bahagia jadi anakku. Lagipula, semenjak ayahku meninggal gantung diri, rumah ini jadi milikku. Jadi kamu bebas tinggal di sini selamanya."

"Nggak mau... tolong, Pak, keluarkan aku dari sini," aku nangis lagi. Aku tidak menyangka kalau kontrakan ini menjadi malapetaka bagi keluargaku. 

"Jangan nangis dong! Kan ada ayah di sini. Kamu lapar ya? Sebentar ayah carikan makanan dulu," katanya sambil mengecup keningku. 

Dia naik ke permukaan. Tidak lama kemudian Pak Heri kembali dengan membawa kantong plastik hitam, entah apa isinya. 

"Nah, ini ayah bawa makanan buat kamu," dia menunjukkan isi plastik hitam itu. 

Aku langsung mual ingin muntah, bahkan saat belum melihat isinya. Aku mencium bau menyengat. Ternyata, di dalam plastik itu ada genangan telur busuk. Entah dari mana dia mendapatkannya. Pak Heri memasukkan telunjuknya ke dalam plastik lalu mengaduk-aduk telur busuk itu.

"Ini enak," katanya sambil menjilati telunjuknya. 

"Tolong! Jangan, Pak! Aku nggak mau!" teriakku sambil menangis. 

"Ini enak kok. Buka mulut kamu," dia memegang kepalaku, memaksaku agar memakan telur busuk itu.

BACA JUGA : Pendakian Gunung Gede Part 1


 Aku mengibaskan plastik itu dengan kepalaku sendiri. Seketika saja plastik jatuh dan telurnya acak-acakan di lantai. Lagi-lagi Pak Heri tidak marah. Dia malah tersenyum sambil mengelus-elus kepalaku. 

"Ya sudah kalau kamu nggak mau. Nanti ayah carikan makanan yang lebih enak lagi ya. Sekarang ayah mau melukis dulu."

Dia naik ke permukaan dan kembali membawa peralatan lukis. Dia lalu menyeret kursi lipat yang tergeletak di sudut ruangan. Yang bikin aku bergidik ngeri yaitu Pak Heri mendudukkan jasad suami ibuku yang sudah tak berkepala.

"Ini bakal jadi karya seni yang hebat. Tubuh tanpa kepala hahaha...," dia tertawa terbahak-bahak dan mulai melukis. 

"Kau lihat ayahmu ini melukis. Siapa tahu kelak kamu jadi seniman andal seperti ayah," kata Pak Heri sambil menoleh kepadaku. Dia tersenyum ramah.

Aku tidak menjawab. Tapi air mataku terus menetes. Tubuhku kini bergetar kedinginan. Kepalaku juga terasa sakit. Darah membasahi wajahku. Benturan tadi sangat keras. Aku heran kenapa aku masih bisa bertahan hidup dengan kondisi seperti ini. 

"Aduh catnya habis nih padahal belum selesai. Ayah mau ambil catnya dulu ya. Tolong jaga lukisan ayah," pinta Pak Heri. Dia lalu naik lagi ke permukaan. 

Mayat lelaki tanpa kepala yang duduk di hadapanku benar-benar menakutkan. Ini adalah momen paling horor dalam hidupku. Ditambah lagi ruangan ini yang begitu hening. Aku hanya mendengar suara tangisku sendiri yang tertahan dan sesenggukan.

Semakin lama ruangan ini semakin mengerikan. Kucoba memejamkan mata agar tidak terus-terusan melihat jasad tanpa kepala di hadapanku. 

Tak lama kemudian kudengar suara kursi berderit. Saat membuka mata, jasad tanpa kepala itu berdiri di hadapanku! Aku berteriak sekeras mungkin lalu meringsut untuk menjauh dari jasad yang tiba-tiba hidup kembali. Sialnya, jasad itu malah mendekatiku.

BACA JUGA : Kontrakan Angker Part 1


Dari kejauhan aku juga melihat kepalanya menggelinding ke arahku. Aku benar-benar takut. Tapi, tali yang mengikat tangan dan kakiku begitu kuat dan tidak bisa dilepas.

Kepala itu kini benar-benar ada di hadapanku. Matanya perlahan terbuka. Bibirnya kemudian tersenyum dan mulai terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu.

"Jason, ayo kita main!" lirihnya. 

Aku berteriak minta tolong. Namun, tak ada seorang pun yang bisa mendengarku. Rasanya aku mau mati saja menyusul kedua orang tuaku.




Posting Komentar

0 Komentar