Kontrakan Angker Part 4

SUARITOTO Namanya Pak Heri. Dia salah satu warga sini. Kebetulan Pak Heri sedang ronda. Dia sengaja keliling untuk memastikan tidak ada orang asing yang masuk ke kompleks ini. Untung saja dia melihat pintu rumahku yang terbuka sehingga aku berhasil diselamatkan. Dia menemaniku sampai subuh dan paginya Pak Heri pamit pulang. 

Aku semakin khawatir dengan ayah. Sampai pagi ini dia tidak kunjung pulang. Aku berdiri menghadap jendela, memandangi jalan, dan berharap ayah akan muncul di sana. Kata ayah, selama dia pergi aku tidak boleh keluar rumah. 

Saat sedang melamun di depan jendela, tiba-tiba kudengar suara pintu yang seakan dibanting. Suara itu berasal dari kamar yang penuh dengan lukisan. Kulihat pintu kamar itu terbuka lebar. Aku menelan ludah sendiri. Walau dipenuhi rasa takut, kudekati kamar itu dengan hati-hati.

Tidak ada siapa-siapa di dalam. Orang-orang asing yang kulihat semalam seolah tidak meninggalkan jejak apa pun. Tapi tunggu dulu, ada sebuah lukisan yang menarik perhatianku. Di dinding dekat jendela kamar ada lukisan wajah seorang lelaki yang sangat kukenal. Tidak salah lagi itu lukisan wajah ayahku. 

Segera kuambil kursi di dapur. Aku naik ke atas kursi untuk mengambil lukisan wajah ayah. Kuperhatikan dari dekat lukisannya. Ini benar-benar lukisan wajah ayahku. Siapa yang melakukan ini?

Kubawa lukisan itu ke dalam kamarku. Tak lama berselang, ponselku berdering. Di layar ponsel muncul nama ibuku. Ternyata ayah masih menyimpan nomor ibu. 

"Ibu?"

"Kamu di mana Jason? Kamu pindah rumah ya? Kok ayah kamu nggak bilang sama ibu?" tanya ibu yang langsung menodongku dengan pertanyaan. 

"Iya, Bu, kami pindah rumah. Jason kira Ibu tahu soal ini."

"Ayah kamu nggak bilang sama sekali. Kamu di mana sekarang? Bisa kasih tahu ibu lokasinya? Ayahmu ibu telepon nggak aktif."

BACA JUGA :  Kontrakan Angker Part 1

Aku loncat dari tempat tidur lalu berjalan ke jendela. Aku tidak tahu pasti alamat rumah ini. Tapi di depan rumahku ada gapura yang bertuliskan perumahan Griya Indah. Kusebutkan nama perumahan itu kepada ibu.

"Oh, iya ibu tahu perumahan itu. Kamu jangan ke mana-mana sebelum ibu datang ya," timpalnya. 

"Iya, Bu. Ayah juga sampai sekarang belum pulang."

"Pergi ke mana ayahmu?"

"Nggak tahu, Bu."

"Ya sudah ibu ke sana sekarang," telepon pun ditutup. 

Ibu beberapa kali meneleponku untuk menanyakan rumah mana yang kami sewa hingga akhirnya dia berhasil menemukan lokasi rumah ini. Ibu datang bersama suami barunya. Jelas aku tidak suka dengan lelaki itu. Walaupun dia tampak ramah, tapi tetap saja aku tidak suka melihat ibu bersama lelaki lain. 

"Sejak kapan ayahmu pergi?" tanya Ibu. Kami duduk di ruang tamu. 

"Dari semalam, Bu."

"Udah ibu bilang, kamu ikut ibu saja. Kalau sama ayah jadi telantar kayak gini kan," kata ibu dengan wajahnya yang terlihat kesal.

Lelaki di sampingnya mengangguk-angguk, "Om senang kalau kamu mau ikut dengan kami. Om udah beli video game buat kamu di rumah. Om juga mau nyekolahin kamu di sekolah favorit biar tambah pinter," kata lelaki gemuk itu sambil tersenyum. 

Aku tidak menanggapinya dan hanya tertunduk. Mau bagaimana pun aku tidak akan pernah mau ikut sama ibu. Kasihan ayah, dia pasti sedih kalau ditinggal sendirian. 

Ibu mengecek setiap ruangan rumah, "Rumah ini nggak layak Jason. Kumuh banget. Emang ayahmu udah nggak mampu bayar sewa rumah yang kemarin ya?"

"Iya, Bu. Kata ayah harga sewanya semakin tinggi."

"Ya harusnya ayahmu kerja lebih keras lagi biar bisa bayar sewanya. Gimana sih...," ibu berdecak kesal. 

"Hari ini kamu ikut ibu aja yuk. Nanti kalau ayah udah pulang, ibu antarkan lagi ke sini," ibu merangkul pundakku. 

"Nggak, Bu. Kata ayah, aku nggak boleh keluar rumah sebelum dia pulang."

BACA JUGA : Kisah Kelam Sadako


 Ibu mengembuskan napas berat. Dia menoleh ke suaminya.

"Ya sudah begini saja, ibu bakal nemenin kamu di sini sampai ayah pulang."

Aku mengangguk dan melirik ke arah lelaki gemuk itu dengan tatapan benci. 

"Kamu mau nunggu di sini juga?" tanya ibu kepada suaminya. 

"Oh, nggak. Aku masih ada kerjaan. Kebetulan hari ini ada pengiriman emas ke tokoku," jawab lelaki itu. 

"Jason kapanpun kamu mau, Om siap jadi ayah kedua buat kamu," katanya sambil mengelus kepalaku.

Aku diam saja. Enak saja mau jadi ayah keduaku. Aku nggak mau punya ayah gemuk dan botak kayak dia. Aku masih berharap ibu dan ayah bisa bersama lagi kayak dulu. 

"Ya sudah aku pamit ya. Telepon aku kalau ayahnya Jason udah pulang. Nanti aku jemput kamu," tambah lelaki itu. 

Aku semakin cemas karena sampai malam tiba ayah belum juga pulang. Ibu beberapa kali menghubungi ayah, tapi nomornya tetap tidak aktif. Ibu juga sudah menelepon kantor ayah dan kata pihak kantor, ayah hari ini tidak masuk kerja tanpa izin. Aku pun semakin cemas.

Sudah larut malam dan ayah tidak kunjung pulang. Akhirnya aku dan ibu ketiduran di kamar ayah. Tengah malam, lagi-lagi aku terbangun. Aku kaget karena ibu tidak ada di kamar. Apakah dia sudah dijemput? Kalau benar, tega sekali ibu ninggalin aku sendirian.

BACA JUGA : Pendakian Gunung Gede Part 1

Kuraih ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur lalu mencari nomor telepon ibuku. Aku akan menghubunginya, tapi saat telepon tersambung, kudengar sebuah ponsel berbunyi. Itu ponselnya ibu yang tergeletak di atas lantai. Berarti ibuku belum pergi. Mungkin saja dia ke toilet. 

"Bu?" aku melangkah keluar kamar sambil memanggil ibu. 

Kulihat pintu kamar yang penuh dengan lukisan itu terbuka sedikit. Aku juga mendengar seseorang sedang bernyanyi. Entah lagu apa yang ia nyanyikan, suaranya sayup dan tidak terlalu jelas. Pelan-pelan kudekati kamar itu. 

Aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat. Di dalam kamar itu ada seorang lelaki yang sedang melukis figur ibuku. Tepat di hadapan lelaki itu, ibuku diikat di atas kursi. Wajah ibu penuh darah seperti habis dipukul dengan benda tumpul. 

Selain itu, ada pisau yang menancap di dada kiri ibu. Dapat kupastikan kalau ibu memang sudah tewas. Lelaki yang tidak dapat kulihat dengan jelas wajahnya itu masih bernyanyi sambil sesekali melihat wajah ibu. Dengan piawai, dia melukis figur ibuku di atas kanvasnya.

Aku ingin berteriak saat menyaksikan apa yang tengah aku lihat saat itu. Tapi lidahku kelu. Tubuhku gemetar, tapi sulit untuk bergerak.

Siapa lelaki itu? Dan, apa yang harus kulakukan sekarang?




Posting Komentar

0 Komentar