Santet Sanak Kadang Part 8 (The End)

SUARITOTO Kemudian aku mendengar suara gending jawa diiringi aroma cendana dan kantil. Aku tahu bahwa Pak Satro sepertinya kepayahan dan meminta bala bantuan.

Pak Sastro ini, menurut cerita merupakan salah satu anak yang diinyang secara langsung oleh Kanjeng Ibu. Tidak hanya itu, aku juga mencium bau lain, bau yang susah digambarkan, tapi biasanya hanya keturunan yang dipilih oleh beliau yang bisa menciumnya, bahkan yang bisa membedakan antara beliau dengan yang KW.

Kata siapa gaib tak ada yang KW, justru karena gaib, makanya KWnya banyak. Mungkin wujud ada KW tapi bau?, susah dicopycat karena bisa kena copyright kalo sampe bau juga dicopy.

Aku melihat Pak Sastro kemudian bersila, entah apa yang dinegosiasikan beliau, yang jelas ketika Pak Sastro duduk, suasananya sangat hening, bahkan anginpun enggan berhembus.

Tak lama kemudian, atap rumah bude runtuh seketika dan disertai angin kencang. Samar-samar aku mendengar suara langkah harimau dan aumannya.

Setelahnya Pak Sastro terbangun, tapi beliau shock melihat mayat para santri sudah bergelimpangan. Aku hitung nyaris separuh dari santri yang datang, kembali ke rumahnya hanya tinggal jasadnya saja.

Pak Sastro menyampaikan segala sesuatu, bahkan tentang syarat yang harus dipenuhi. Tapi nyatanya, sebelum 3 hari kepulangan eyang, Pak Sastro pulang terlebih dahulu.

Ingin rasanya aku mengumpat budeku, sudah ditolong tapi tidak tau diri, dan malah sibuk playing victim. Lihat aja, apa karmamu nantinya.

Ketegangan antara papaku dan bude nampak nyata bahkan mereka tidak bertegur sapa hingga sekarang. Bukan hanya karena meninggalnya Pak Sastro, tapi ada alasan lain yang membuat papaku menjauhi bude.

BACA JUGA : Gugur Bunga Bundaran Teknik UGM Part 1

Entah kenapa, malam ini nampak berbeda tidak biasanya Eyang mencariku, tidak biasanya Eyang memelukku dengan erat, tidak biasanya juga Eyang mengucapkan sayang padaku, dan tidak biasanya Eyang meminta maaf kepada mama.

Bahkan memujiku di depan banyak orang yang berkata bahwa di antara cucunya yang lain akulah yang paling mau mengurus beliau, bahwa aku adalah cucu kesayangannya.

Jujur, aku senang dan terharu, karena akhirnya Eyang melihatku dan yang lebih mencengangkan, seluruh peralatan catering dan perhiasan eyang diberikan padaku.

Malam itu aku melihat wajah mereka semua termasuk juga sepupuku menahan amarahnya. Mereka marah karena ternyata semuanya buatku, warisan yang tidak aku sentuh sama sekali hingga detik ini, karena aku hanya membawa Kaca Pangilon Eyang.

Jujur malam itu, jauh dalam hati kecilku, aku tahu bahwa ini adalah saat terakhir Eyang dan aku masih ingin memeluk eyang lebih lama lagi.

Walau Eyang seperti itu padaku, tapi Eyang lah yang mengajarkan aku untuk menjadi perempuan yang mandiri.

Aku masih ingin berlama - lama dengan Eyang, ia adalah orang pertama yang tahu bahwa aku punya pacar, Eyang adalah orang yang mengajarkanku memanggang kue-kue zaman Belanda dulu, Eyang pula yang mengajarkanku berdandan, dan dari dirinyalah aku belajar banyak hal.

Keesokan harinya tepat pukul 9 pagi Eyang memanggilku ke kamarnya, ia minta aku memandikannya, memotong rambut, dan kukunya. Dan setelah aku lakukan itu semua, Eyang memintaku membantunya untuk mengambil air wudu lalu setelahnya Eyang memintaku untuk menuntunnya.

BACA JUGA : Pendakian Gunung Lawu Part 1

Aku lakukan semua permintaannya, bahkan permintaan beliau untuk tidak menangis pun aku lakukan. Tak lama setelahnya, Eyang pun pergi, sesuai keinginannya, beliau pergi dalam pelukanku.

I miss you so bad granma, aku melihat semua orang menangisi kepergian eyang. Tapi entah mengapa, aku justru merasa bahwa mereka semua sedang menari bahagia.

Malam itu, Eyang terlihat sangat cantik, di situ hanya ada aku dan mama yang menemani eyang karena mereka sibuk bergosip dan sibuk terlelap dalam tidurnya. Aku kasihan melihat eyang, bahkan ketika dia tiada tidak ada satupun anaknya yang menunggui jasadnya.

Semua sibuk dengan urusannya masing-masing bahkan sepupuku ada yang sibuk dengan lintingannya. Ingin rasanya aku protes, tapi mama mengingatkanku bahwa nanti ini akan menjadi karma baikku.

Aku kira santet ini akan berhenti mengejar Eyang, tapi aku salah, ternyata santet ini masih mengejar eyang, bahkan hingga ke liang lahatnya.

Ketika keranda Eyang akan diangkat, ternyata di bawah kerandanya ada ular melingkar dan ketika berhasil diangkat keranda itu berat dan bergoyang seperti ada yang sedang menaikinya.

Ternyata banyak yang melihat bahwa ada sejenis buto ijo yang menggoyangkan keranda Eyang. Hingga akhirnya aku dan mama dipanggil oleh kyai, aku dan mama harus memaafkan Eyang biar almarhumah tenang.

Benar saja, setelah aku dan mama menyentuh kerandanya dan berucap bahwa kami sudah memaafkan Eyang kerandanya terasa ringan.

Hari itu gerimis menghantarkan Eyang ke peristirahatannya yang terakhir, 40 hari setelah kepergian eyang, tanteku pun menyusul eyang.

BACA JUGA : Misteri Hutan Karet Part 1

Ketika acara pengajian 40 hari sekaligus upacara penghormatan terakhir untuk tanteku, aku melihat banyak teman papa yang hadir bahkan aku juga melihat rombongan Mbah Wongso juga hadir.

Aku menghampiri Mbah Wongso, dan entah mengapa, selesai aku mencium punggung tangannya, aku menangis sejadi-jadinya. Akhirnya tangiskupun pecah malam itu, kesedihanku, kepahitanku, semua pecah dan larut dalam isak tangisku.

Aku meraung sejadi - jadinya hingga kemudian seseorang memelukku dan memintaku untuk mengeluarkan semua tangisku, setelah tangisku reda, kamipun berkenalan.

"Hai, aku Nath," ucapnya.

"Aku Ayik," jawabku.

"Kamu mau jadi temanku?," tanyanya.

"Sure, why not," ucapku yakin.

Santet Sanak Kadang ini masih memakan korban hingga sekarang, hanya saja menjadi halus karena drama dari masing-masing keluarga serta selalu kematian beruntun, yang terakhir bulan April lalu, salah satu Bude meninggal karena covid dan entah siapa lagi nantinya.

Karena yang tersisa hanya mereka yang penuh dengan kedengkian, mungkin memang benar bahwa Tuhan akan memberikan kesempatan bagi mereka yang jahat untuk bertaubat, semakin lama mereka pulang, tandanya Tuhan akan semakin membuat mereka terlena.

Dan korbannya yang termuda adalah anak dari sepupuku yang berusia 5 tahun meninggal tidak wajar. Sempat diautopsi dan tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan, walau dari seluruh lubangnya keluar nanah dan darah sama seperti kakeknya Pakde Darso.

BACA JUGA : Fakta Horor Gunung Salak

Jika kalian bertanya, apa tidak menimpa keluargaku, tentu saja menimpa keluargaku. Tapi entah kenapa selalu kembali ke pengirimnya dan sampai detik ini aku masih tidak mengerti apa motif mereka menghancurkan trah ini.

Jika karena warisan, mereka mengambil semua hakku, aku hanya mengambil kaca pangilon eyang. Yang lainnya tidak ada yang aku ambil hingga sekarang.

Jika karena sakit hati, harusnya aku dan mamaku yang melakukannya tapi kami tidak melakukan itu. Entah apa motifnya, hanya mereka dan Tuhannya yang tahu.

Jadi buat kalian, apapun yang kalian lakukan, niat baik sekalipun, terkadang bisa membuat orang membenci kita serta jangan lelah berbuat baik kepada siapapun.

-Tamat-




Posting Komentar

0 Komentar