Pendakian Gunung Pulosari Part 27

SUARITOTO Aku terkejut saat sosok wanita itu berubah menjadi Riki. Kerisku telanjur menusuk tenggorokannya. Mata Riki melotot, kaca matanya jatuh. Kedua tangannya bergetar seperti kecoa yang sedang sekarat.

Kucabut kembali keris yang panjangnya hanya setelunjuk orang dewasa itu. Darah muncrat dari lubang dari bekas tancapan keris. Aku berteriak sambil menahan tubuh Riki yang lunglai. 

“Rik! Rik! Riki!” 

Kututup luka yang masih terus mengeluarkan darah dengan sapu tanganku. Ia sekarat. Matanya menatapku seperti ada hal yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan di tenggorokannya. 

“Ma... maafin gua, Ri. Pu... pu... pulanglah,” katanya. 

Sesaat kemudian kedua matanya terkatup. Aku tidak lagi merasakan detak jantungnya. Aku menangis. Rasanya ingin sekali aku bunuh diri saja saat itu juga. Tidak sanggup lagi aku bertahan di gunung seperti ini. Kejadian demi kejadian yang aku alami semakin aneh dan tragis. 

Hujan tidak kunjung reda. Aku bangkit lalu merogoh sebuah tali dari dalam tas ranselku. Kuikatkan tali itu ke tubuh Riki. Aku harus membawa pulang jasad Riki.   

Dua hari berlalu. Aku seperti berputar-putar saja di kawasan gunung ini. Selama dua hari ini, aku makan belalang panggang. Koloni belalang itu kutemukan di tengah perjalananku. Yang menjadi masalah saat ini adalah jasad Riki yang semakin membusuk. Tubuhnya mengeluarkan bau yang begitu menyengat. 

Aku berhenti di tengah jalan setapak. Aku rogoh botol air minum dari dalam tas, yang sempat kuisi saat turun hujan. Aku meneguk air itu. Aku menoleh ke jasad Riki. Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin aku bisa membawanya pulang. Menguburkan jasad Riki bisa jadi jalan terbaik. 




Posting Komentar

0 Komentar