Pendakian Gunung Pulosari Part 18

SUARITOTO Di tengah perjalanan, aku menoleh ke sebuah pohon. Ada yang aneh di sana. Tampak Eldi sedang berdiri di atas dahan pohon, wajahnya penuh darah, ia melambaikan tangan padaku. Wajahnya meringis seperti sedang kesakitan.

“Eldi?” aku menyipitkan mata. 

“Rik itu si Eldi,” Kutepuk pundak Riki, dia berhenti lalu melihat ke arah pohon yang kutunjuk. 

“Mana? Nggak ada,” timpal Riki sambil tertawa cengengesan. 

Eldi memang menghilang dari dahan pohon itu, tapi aku melihatnya di antara semak-semak, ia lari menjauh dari kami. Kuarahkah cahaya senter ke tempat yang lebih jauh, namun dia sudah menghilang. Kami lalu melanjutkan kembali perjalanan pulang.

“Malam ini kita berkemah di sini dulu,” Riki menoleh ke arahku. Tanpa perlu persetujuanku, ia melangkah masuk ke perkemahan itu.

Di tengah perjalanan, aku menoleh ke sebuah pohon. Ada yang aneh di sana. Tampak Eldi sedang berdiri di atas dahan pohon, wajahnya penuh darah, ia melambaikan tangan padaku. Wajahnya meringis seperti sedang kesakitan.

“Eldi?” aku menyipitkan mata. 

“Rik itu si Eldi,” Kutepuk pundak Riki, dia berhenti lalu melihat ke arah pohon yang kutunjuk. 

“Mana? Nggak ada,” timpal Riki sambil tertawa cengengesan. 

Eldi memang menghilang dari dahan pohon itu, tapi aku melihatnya di antara semak-semak, ia lari menjauh dari kami. Kuarahkah cahaya senter ke tempat yang lebih jauh, namun dia sudah menghilang. Kami lalu melanjutkan kembali perjalanan pulang.

“Malam ini kita berkemah di sini dulu,” Riki menoleh ke arahku. Tanpa perlu persetujuanku, ia melangkah masuk ke perkemahan itu.

Perkemahan itu ramai sekali. Banyak tenda warna-warni yang didirikan di sana. Aku berjalan masuk ke perkemahan itu, orang-orang di sana berwajah pucat dan seperti bersedih. Kulihat Riki berdiri, mendongak ke langit sambil menatap bulan. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. 

Riki? Bukan! dia bukan lagi Riki. Lihat saja tatap matanya mati, ada belatung yang keluar dari kerah bajunya. Suaranya pun berubah, terdengar seperti suara seorang kakek-kakek. Aku mundur beberapa langkah lalu lari meninggalkannya. 

Aku menjauh dari perkemahan misterius itu, menyusur jalan setapak, mengikuti kata hati. Langkahku terhenti saat mendengar seseorang batuk, suara itu berasal dari balik pepohonan. Kuarahkan cahaya senter ke sana. Dan... munculah seorang nenek yang sedang menggendong kayu bakar. Ia menoleh ke arahku lalu nyengir, giginya yang hitam terlihat jelas tersorot sinar senterku.

Aku mundur dan tetap waspada. Bisa jadi dia bukan manusia.




Posting Komentar

0 Komentar