Pendakian Gunung Pulosari Part 17

SUARITOTO Kali ini aku yang jalan paling depan, sementara Riki di belakangku. Semakin lama, aku merasa ada yang aneh dengan Riki. Dia sering sekali meludah lalu tiba-tiba tertawa tanpa sebab, dan suka meracau sendiri. Itu bukan seperti Riki yang kukenal. 

“Riki lu jalan paling depan aja,” pintaku. 

Sengaja aku menyuruhnya jalan paling depan agar bisa memperhatikan lebih jelas lagi tingkah anehnya. 

“Oh siap Ri,” katanya sambil tertawa. 

Dari belakang kuperhatikan Riki. Dia lagi-lagi meludah dan tertawa tanpa sebab. 

“Rik, lu kenapa sih?”

“Hah? Gua baik-baik aja kok,” katanya sambil tertawa lagi. 

Kucoba untuk tenang dan tetap mempercayai Riki. Namun, aku tetap waspada.

Sialnya tiga hari sudah kami menyusuri jalan setapak itu, tapi tak kunjung sampai ke perkampungan warga. Aku malah merasa semakin tersesat di gunung ini. Persediaan makanan sudah habis, wajahku pucat berantakan. Tidak kulihat wajah cemas sedikit pun pada Riki, ia terlihat tenang seperti tidak ada masalah apa pun.

Ini malam ketigaku di Gunung Pulosari. Riki yang selama ini aku anggap pemimpin regu, yang perkataannya selalu kuturuti, sekarang aku mulai ragu padanya. Dia bukan lagi Riki yang kukenal, tingkahnya aneh. Ia selalu bilang kalau perkampungan warga sudah dekat, nyatanya kami tidak pernah sampai ke sana. 

Aku masih di tengah hutan, gelap dan penuh suara dengkuran babi. Belum lagi bola api di langit yang belakangan ini mengikutiku. Kata Riki itu adalah ocos; salah satu makhluk gaib penghuni Gunung Pulosari. 




Posting Komentar

0 Komentar