Misteri Hutan Karet Part 20

SUARITOTO  Selanjutnya adalah giliran Pak Witan, kali ini perasaanku malah terasa lebih tegang daripada saat pertama, karena jelas-jelas postur tubuh Pak Witan lebih besar daripada postur tubuh Mardian. Akan tetapi, Pak Witan yang melewatinya malah terlihat lebih santai tanpa ragu, aneh, kok aku yang malah berlebihan.

Kini tiba pula giliranku. Perlahan kulangkahkan kaki, tangan kananku erat menggenggam gagang jembatan yang terbuat dari kayu yang kini telah berlubang-lubang dimakan ulat. Penuh ragu aku berjalan, selangkah demi selangkah terus aku ayunkan. Tatapan mataku fokus mencari tempat terbaik untuk menginjakkan kaki.

Aku pun berhasil menyeberanginya.

"Ayo, cepat! Anjing kakekmu sudah jauh tuh" Kata Pak Witan seraya memicingkan mulut, menunjuk. Kamipun kembali melanjutkan perjalanan.

Terlihat ada sekitar belasan takah anak tangga yang mengarah naik. Kami mulai menginjakkan kaki disitu. Aku masih berada di posisi paling belakang sembari memegang obor yang tadinya kulempar. Udara di ruangan seberang sungai ini terasa panas, hingga membuatku sampai beberapa kali membersihkan muka.

"Logi...! Logi..! Mardian berteriak memanggil temannya yang entah dimana keberadaanya. Namun tak ada suara sahutan yang terdengar menjawab. Yang ada hanyalah gemaan suaranya yang malah memantul hingga ke ujung lorong sana yang gelap.

BACA JUGA : Kolam Renang Angker Indonesia

Kami terus berjalan penuh selidik. Dasar jalan di lorong tersebut terbuat dari tanah dan debu-debu halus yang mudah melayang. Entah sudah berapa lama tempat ini tak dikunjungi oleh manusia.  Begitulah gemingku dalam hati.

Tentang suara teriakan yang tadinya kami dengar, sampai sekarang malah sudah menghilang entah kemana. Aku merasa janggal dan separuh lagi merinding. Karena tempat ini benar-benar kumuh dan berantakan, entah kenapa aku malah berpikir pemandangan itu terlihat seperti yang ada di film-film horor.

Dindingnya dipenuhi retak, lumut-lumut bertebaran di dinding, akar-akar pohon yang entah darimana asalnya menjuntai di dinding-dinding ruangan. Tidak ada makhluk hidup yang terlihat bahkan semut dan cicak sekalipun. Tempat ini benar-benar sunyi dan jauh dari kehidupan.

Si hitam semakin jauh di depan, kini jaraknya mungkin hampir mencapai 50 meter dari kami. Kamipun sedikit mempercepat langkah untuk mengikutinya.

Gelap, sunyi dan mencekam. Begitulah yang aku rasakan. Kami terus berjalan mengikuti lorong kumuh itu yang entah berantah. Ragu takut dan cemas terus bergemuruh di dalam hati kami. Apakah kami akan berhasil menemukan Logi dan ataukah sebaliknya kami malah tersesat dan terjebak di dalam lorong yang gelap ini? Itulah yang mengusik benakku.




Posting Komentar

0 Komentar